“Seandainya hizibku dibaca di Baghdad, maka kota itu tak akan jatuh.” Imam Abul Hasan asy-Syadzili menegaskan hal itu mengenai keampuhan Hizbul Bahr. Bagi kalangan tertentu, boleh jadi pernyataan beliau itu dianggap terlalu mengada-ada. Bagaimana mungkin sebuah bacaan doa dapat menghalau gelombang serangan tentara Tartar yang begitu tangguh.
Kalau dilihat dengan kalkulasi lahiriah, sepertinya pernyataan asy-Syadzili memang terlalu mengada-ada. Namun, perlu juga diketahui, bahwa urusan hizib bukanlah urusan lahiriah. Hizib adalah doa yang ketajamannya tak bisa dikalkulasi dengan akal, karena murni bersandar kepada kekuatan Tuhan. Sebagai sebuah doa yang didapatkan oleh seorang waliyullah dari ilham, maka sangat mungkin doa itu memiliki sisi-sisi keluarbiasaan sebagaimana yang biasa dilihat sebagai karamah dari para wali. Sebagaimana, kemenangan kaum Muslimin di Perang Badar, sudah berada di luar kalkulasi lahiriah.
Hizbul Bahr, konon dikarang oleh Imam asy-Syadzili di Laut Merah. Saat itu, beliau sedang berlayar menaiki sebuah kapal. Di tengah Laut Merah, angin tiba-tiba berhenti. Kapal tak bisa bergerak selama beberapa hari. Namun, tak berapa lama kemudian, Imam asy-Syadzili melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam datang dengan membawa berita gembira. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menuntun asy-Syadzili membacakan sebuah doa. Syahdan, dengan tiba-tiba angin datang dan kapal bisa bergerak kembali.
Hizib yang dikarang oleh para tokoh sufi, memang tidak seperti penulisan karya-karya ilmiah. Hizib ditulis dengan pengalaman spiritual yang mendalam. Hanya melibatkan kekuatan hati, hampir tak melibatkan ketajaman pikiran sama sekali.
Dalâ’ilul-Khairât yang luar biasa mengakar dalam tradisi wiridan umat Islam hingga saat ini, ditulis oleh Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Jazuli sama sekali bukan karena tantangan ilmiah yang bergejolak di pikiran beliau saat itu, tapi murni karena getaran spiritual yang menguasai hatinya.
Konon, Syekh al-Jazuli hendak melaksanakan salat. Datang ke sumur, tak ada timba yang bisa dibuatnya untuk mengambil air wudu. Syekh al-Jazuli kebingungan. Tiba-tiba, seorang gadis kecil yang tidak ia kenal datang menghampiri.
“Siapa engkau?” tanya gadis itu.
Syekh Al-Jazuli memperkenalkan dirinya.
“Oh, ternyata Tuanlah yang dipuji oleh begitu banyak orang. Tapi, kenapa masih bingung untuk mendapatkan air sumur ini!?”
Gadis kecil itu meludah ke dalam sumur. Sungguh aneh, airnya naik sampai ke permukaan. Syekh al-Jazuli dibuat terperangah. Beliau langsung berwudu dari air itu, lalu bertanya, “Nak, apa yang membuat engkau bisa mencapai derajat ini?”
“Banyak bersalawat kepada Nabi yang apabila beliau berjalan di darat, maka binatang-binatang liar menjadi begitu jinak,” jawab gadis kecil itu.
Berangkat dari pengalaman itu, Syekh al-Jazuli bersumpah untuk menulis sebuah kitab kumpulan salawat. Dan, dari pengalaman spiritual itu pula muncul karya agungnya Dalâ’ilul-Khairât. Cukup banyak syekh-syekh sufi yang menyebarkan karya al-Jazuli ini kepada murid-murid mereka. Misalnya, Syekh Abdul Haqq di India, pada awal-awal abad 20, dikenal dengan julukan Syaikhud-Dalâ’il. Meski tidak sampai mendapat julukan semacam ini, sangat banyak syekh-syekh di seluruh penjuru dunia Islam yang menyebarkan ijazah Dalâ’il. Mulai dari Indonesia hingga Maroko.
Menurut Syekh Ismail Haqqi al-Burusawi, penulis tafsir Rûhul-Bayân dan tokoh tarekat Khalwatiyah Turki, meyakini bahwa ada hizib yang memang bukan hasil karya dari penulisnya, tapi dituntun oleh Allah atau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dalam tafsirnya, Syekh Ismail Haqqi memberikan apresiasi yang tinggi terhadap hizib-hizib yang dibuat oleh Imam Abul Hasan asy-Syadzili. Beliau menyatakan, “Orang-orang sufi yang menetapkan wirid dari selain apa yang wârid dalam Sunah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka ia bersikap kurang sopan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kecuali, jika wirid itu ia dapatkan dari pengajaran langsung Allah I, Allah memberitahukan kepada dia tentang keistimewaan kalimat-kalimat yang ia kumpulkan. Jika demikian, maka berarti ia mengikuti (Allah dan Rasul-Nya), bukan membuat sendiri. Misalnya, Hizbul-Bahr karya Imam asy-Syadzili. Imam asy-Syadzili telah menegaskan bahwa beliau tidak meletakkan satu huruf pun dalam hizib itu kecuali mendapatkan izin dari Allah dan Rasul-Nya.”
Tak jauh berbeda dengan Hizbul-Bahr, Hizbul-Faraj karya Syekh Ahmad ar-Rifa’i, pendiri tarekat Rifa’iyah. Beliau menganjurkan untuk membacanya di waktu sahur atau akhir malam sebagai wirid untuk mencapai kemuliaan hidup, di dunia dan akhirat. “Akan turun dari Hadirat Tuhan jaminan terkabul untuk orang-orang yang ahli membacanya. Maka, dengan izin Allah, mereka tidak akan ditimpa kehinaan. Pada saat hizib ini dibaca, ruh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hadir di sana,” tegas Syekh ar-Rifa’i. Syekh ar-Rifa’i, sebagaimana diterangkan dalam Mi’râjul-Wushûl, konon sudah mendapatkan jaminan sampai sebelas kali dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bahwa orang yang ahli membaca hizib tersebut tidak akan ditimpa kehinaan sampai kapanpun. Mengenai jaminan langsung dari Rasulullah itu bukanlah sesuatu yang aneh. Sebab, Syekh ar-Rifa’i sendiri, dalam riwayat yang masyhur, memang pernah mencium tangan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam secara langsung saat berziarah ke makam beliau. Kejadian itu disaksikan oleh banyak orang.
Di dunia tasawuf, memang sudah lumrah terjadi adanya pernyataan dari seorang syekh bahwa ia mendapatkan wirid itu dari ilham, dari malaikat, dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dari Nabi Khidir, dan semacamnya. Secara ilmiah, memang tidak bisa dibuktikan, apakah klaim itu benar atau tidak. Namun, hal itu bukanlah sesuatu yang mustahil, apalagi jika yang menyatakan semacam itu adalah orang-orang saleh yang derajat kedekatannya dengan Allah sudah tidak diragukan lagi.
Dalam beberapa referensi diterangkan bahwa di antara para Sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ada yang sering mendengar salam dari para Malaikat, seperti Sahabat Imran bin Hushain radhiyallahu anhu. Juga, ada Sahabat yang bertemu langsung dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pasca wafatnya beliau. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa Sayidina Utsman bin Affan, sebelum dibunuh oleh para pemberontak, beliau bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Beliau membawakan air untuk Sayidina Utsman yang saat malam terakhirnya itu tidak menemukan air untuk sekadar sahur. Jika hal itu bisa terjadi pada Sahabat, maka juga mungkin terjadi kepada orang-orang saleh setelah mereka.
Walhasil, garansi para wali terhadap hizib-hizib yang mereka buat, bukanlah garansi khurafat. Hal itu merupakan bagian dari karamah yang diberikan oleh Allah kepada mereka. Akidah Islam mempercayai adanya keajaiban-keajaiban yang terlepas dari hukum alam, baik dalam bentuk mukjizat, karamah, ataupun maunah.
Sumber: Buletin SIDOGIRI
diposkan oleh muhammad jamil
Tidak ada komentar:
Write comments